Sabtu, 09 Juni 2012

DUFU, FROM GURU BAHASA INDONESIA

LINGUISTIK DAN PENGAJARAN BAHASA INDONESIA

MINGGU, 10 JULI 2012
Oleh Masnur Muslich
(Diadaptasikan dari Tulisan I Gusti Ngurah Oka)

Kalau kita pandang pengajaran bahasa itu sebagai suatu proses, maka di dalamnya kita dapati dua jenis proses, yaitu (a) proses penyerahan bahasa yang diajarkan kepada orang yang belajar bahasa (pelajar bahasa) dan (b) proses penerimaan bahasa yang diajarkan oleh pelajar bahasa. Di dalam sejarah studi pengajaran bahasa, tiap jenis proses tersebut di atas ini merupakan bidang studi tersendiri yang makin mengkhusus dalam perkembangan ilmu pengetahuan akhir-akhir ini. Proses menyerahkan bahasa yang diajarkan kepada pelajar bahasa adalah pokok persoalan “Ilmu Pengetahuan Bahasa (Language Teaching)”.1) Titik pertemuan kedua jenis proses di atas terletak pada bahasa yang diajarkan atau dipelajari. Karena itu berhasil baiknya proses pengajaran bahasa akan sangat ditentukan bahasa yang diajarkannya dan juga pemahaman pelajar bahasa terhadap bahasa yang dipelajari itu. Pemahaman itu hanya mungkin bisa terjadi kalau bahasa tersebut telah digambarkan secara benar (ilmiah). Dan gambaran ilmiah terhadap bahasa adalah kompetensi linguistik untuk mengemukakannya.2) Dari segi ilmiah bisa kita lihat hubungan dalam proses pengajaran bahasa. Jadi kalau demikian di dalam proses pengajaran bahasa ada tiga persoalan yang harus kita pertimbangkan, yaitu:
a)gambaran bahasa (language description) yang akan diajarkan,
b)mengajarkan bahasa (language teching) tersebut pada pelajar bahasa,
c)belajar bahasa (language learning) tersebut kepada pelajar bahasa.3)
Jika titik pertemuan linguistik dengan pengajaran bahasa pada bahasa akan diajarkan atau yang akan dipelajari, maka persoalan yang kita angkat dalam hubungan ini adalah:
a)Sejauh manakah sumbangan linguistik kepada pengajaran bahasa?
b)Bagaimanakah kemungkinan penerapannya ke dalam pengajaran bahasa Indonesia?
Kedua pokok persoalan inilah yang selanjutnya akan merupakan isi dari uraian berikut ini:

Sejarah Penerapan Linguistik
Ditinjau dari segi sejarahnya, masuknya linguistik ke dalam persoalan Pengajaran bahasa boleh dikatakan belum begitu lama. Di Amerika misalnya pemasukan linguistik ke dalam pengajaran bahasa dirintis oleh L. Bloomfield. Sehubungan dengan ini, Mary R. Haas dalam karangannya yang berjudul: “The Application of Language Teaching” (termuat dalam: A.L. Kroeber, Anthropology Today, Chicago, 1958: 807-817) mengatakan bahwa Bloomfield linguistik pertama yang bertindak sebagai guru bahasa.
Hasil-hasil yang baik dicapai Bloomfield dalam linguistik, yaitu mendeskripsikan bahasa yang diselidikinya sebagaimana adanya bahasa tersebut (sesuai dengan sistem dan struktur bahasa tersebut), kemudian diterapkannya ke dalam pengajaran bahasa. Penerapan ide-ide linguistisnya ini antara lain berupa saran-saran bagaimana sebaiknya cara-cara yang ditempuh untuk mengajarkan suatu bahasa dan mempelajari suatu bahasa. Beberapa dari saran tersebut misalnya seperti berikut.
a)Orang yang akan mengajarkan suatu bahasa (guru bahasa) hendaknya mengetahui dengan baik bahasa yang akan diajarkannya serta sanggup berbicara dalam bahasa tersebut.
b)Guru bahasa juga harus mempunyai pengetahuan yang baik tentang unsur-unsur bahasa yang mana yang harus diajarkan, yang mana di antara unsur-unsur tersebut yang lebih didahulukan dan bagaimana cara-cara yang dapat tepat mengajarkan tiap unsur bahasa tersebut.
c)Teknik-teknik yang sebaiknya ditempuh:
(1)Melatihkan secara intensif ucapan bunyi-bunyi bahasanya (drill fonetis). Dalam hubungan ini disarankan agar ucapan bunyi-bunyi bahasa tersebut diusahakan setepat-tepatnya seperti pemakai aslinya (native speaker-nya) mengucapkan bunyi-bunyi tersebut.
(2)Menyediakan waktu yang cukup (8 jam seminggu) kepada “drill fonetis” (lebih-lebih lagi pada kelas-kelas permulaan).
(3)Mempertentangkan bahasa yang dipelajari dengan bahasa yang dimiliki oleh pelajar bahasa (“approach contrastive”).
Saran-saran tersebut di atas ini dikemukakan oleh Bloomfield didasarkan kepada tujuan pengajaran bahasa, yaitu membuat pelajar bahasa mampu berbahasa yang dipelajarinya, dalam waktu secepat-cepatnya dan tepat seperti pemakai aslinya mengucapkan bahasanya. Sedangkan teknik pengajaran tradisional yang terlalu mementingkan pengajaran gramar dan terjemahan namun mengabaikan kemampuan berbahasa. Hal ini terbukti dari kecamannya terhadap hasil-hasil pengajaran bahasa pada waktu itu sebagai berikut: “Of the students who take up the study of foreign languages in our schools and colleges, not one in a hundred attain even a fair reading knowledg, and not one foreign language”. Ide dan saran teknis dari Blooomfield ini termuat di dalam bukunya yang berjudul: “An Introduction to Study of Language” yang terbit tahun 1914.4)
Perkembangan study pengajaran bahasa di Amerika kemudian maju dengan pesatnya menjelang Perang Dunia II. Hal itu disebabkan karena kemungkinan-kemungkinan terlibatnya Amerika dalam perang tersebut. Adanya kemungkinan ini (dan memang akhirnya Amerika betul-betul terlibat atau melibatkan diri), dengan sendirinya diperlukan persiapan-persiapan atau perlengkapan-perlengkapan yang bukan saja bersifat kemiliteran namun juga yang bersifat sosial-budaya. Sampai pada saat itu pengetahuan Amerika tentang negara-negara yang bukan Eropa begitu banyak.
Demikian juga bahasa-bahasa yang dipelajarinya kebanyakan bahasa-bahasa klasik Eropa saja, seperti misalnya Bahasa Perancis, Bahasa Jerman, Bahasa Spanyol dan lain sebagainya. Sedangkan bahasa-bahasa Asia dan Afrika sedikit sekali yang dipelajarinya.
Tuntutan taktis dan strategi militer (yang berupa informasi-informasi militer dan sosial-budaya) dari negara-negara Asia dan Afrika yang hanya mungkin dicapai dengan baik kalau menguasai bahasa-bahasa di negara-negara kedua benua tersebut, mendorong pemerintah Amerika untuk dengan segera dan cepat membentuk tenaga-tenaga yang mampu berbahasa bahasa-bahasa Asia dan Afrika. Untuk maksud ini kemudian “American Council of Learned Society” membentuk suatu komite dengan nama “Committee on the National School of Modern Oriental Languages and Civilization” yang bertugas menemukan cara-cara yang cepat dan tepat untuk mempelajari bahasa-bahasa dan peradaban timur. Komite ini lalu mengkonsentrasi linguis-linguis Amerika terkemuka (terutama murid-murid L. Bloomfield dan E. Sapir atau linguis-linguis yang mengembangkan ide penegak linguistik modern Amerika ini) yang akhirnya menghasilkan: (1) Field Method in Linguistics (terutama dikembangkan oleh: “Linguistics Institute of the Linguistic Society of America” dan (2) Intensive Language Program yang dikembangkan oleh “The American Council of Learne Society”. Hasil-hasil ini kemudian dimanfaatkan oleh Angkatan Perang Amerika sehingga dalam waktu yang tidak lama hampir lebih dari 26 buah bahasa di Asia dan Afrika yang sudah dikuasainya. Termasuk ke dalamnya Bahasa Indonesia. Dan khusus untuk Pengajaran Bahasa Inggris, maka di Universitas Michigan dibentuk “English Language Institute” di bawah pimpinan Profesor Charles C. Fries.5) Demikianlah sejarah perkembangan Pengajaran Bahasa di Amerika yang dalam keseluruhannya merupakan usaha menerapkan linguistik ke dalam persoalan pengajaran bahasa. Detail dari perkembangan ini diuraikan dengan baik oleh William G. Moulton dalam karangannya yang berjudul: “Linguistic and Language Teaching in the United States, 1940-1960.”6)
Dengan tidak mengecilkan usaha-usaha menerapkan linguistik ke dalam penghayatan bahasa seperti yang dikerjakan oleh Amerika, sementara di sini perkembangan di negara itu sajalah yang dikemukakan.
Usaha-usaha menerapkan linguistik ke dalam pengajaran bahasa di Indonesia, yaitu ke dalam Pengajaran Bahasa Indonesia, tampaknya baru dimulai perintisnya oleh para linguis muda Indonesia. Karya-karya yang bercorak linguistik dari Soewojo Wojowasito, Samsuri, dan Umar Yunus (Malang), M. Ramlan (Jogya), Lutfi Abbas (Bandung), Anton Muljono, Harimurti Kridalaksana, M. Effendi, A. Latif, T.W. Kamil dan lain sebagainya (Jakarta), banyak atau sedikit dimaksudkan untuk memberi landasan-landasan permulaan bagi penerapan linguistik ke dalam Pengajaran Bahasa Indonesia.

Sumbangan Linguistik dalam Pengajaran Bahasa
T. Hodge dalam karangannya yang berjudul: “The Influence of Linguistics to Language Teaching” (Anthropological Linguistics, 5, ., 1963, 50-56) antara lain mengatakan linguistik membantu pengajaran bahasa dalam:
1)menentukan corak bahasa yang diajarkan,
2)memberi pedoman tentang pemilihan materi bahasa yang sebaiknya diajarkan, dan
3)memberi pedoman tentang cara-cara penganalisaan materi bahasa yang diajarkan.
Tentang corak bahasa yang sebaiknya diajarkan, Charleton T. Hodge menyarankan agar pemilihannya didasarkan kepada kebutuhan mereka yang belajar bahasa (pelajar bahasa) dan kepada tujuan pengajaran bahasa. Sehubungan dengan ini hendaknya diperhatikan berbagai versi ujar yang ada dalam bahasa tersebut.
Mengenai materi atau bahan pelajaran yang sebaiknya diajarkan, disarankan agar dipersiapkan seri teks-book yang dikatakannya sebagai berikut: “Ideally, the language text is the last of a series of items to be written, following a complete study of the language, and analyzing and reanalyzing it from every aspects”.
Di dalam penganalisisan bahasa dan menjadikan pelajaran bahasa itu, Hodge menyarankan adanya kerja sama yang baik antara linguistik dengan paedagogi di satu pihak dan dengan metodologi di pihak lain. Dan teknik yang selalu ditekankannya adalah teknik drill yang intensif dan teknis pembinaan kemampuan berbahasa dalam bahasa yang dipelajari.7) Di samping itu linguistik juga mengembangkan metode-metode pengajaran bahasa yang berlandaskan linguistik. Untuk menyebut beberapa di antaranya, di sini perlu dikemukakan “Oral Approach” yang dirintis C.C. Fries yang dikatakannnya sebagai “A New Approach to Language Learning”8). “The Oral-Aural Method” oleh Robert L. Saitz9), Metode Pembatasan Materi Bahasa oleh W. Cowan, Smith dan S.W. Stevick, Metode Kontrastive Linguistik yang mempertentangkan bahasa yang diajarkan dengan bahasa yang telah dimiliki oleh pelajar bahasa dan malahan akhir-akhir ini sudah berkembang metode baru yang didasarkan kepada “Approach Bilingualism”.10)
Rupanya penerapan metode-metode pengajaran bahasa yang berlandaskan linguistik ini mendapatkan pembinaaan yang sangat baiknya dalam pengajaran bahasa Inggris. Dua jenis pengajaran bahasa Inggris yang sekarang terkenal di dunia adalah “Teaching English as a Foreign Language” dan “Teaching English as a Second Language”. Tentang hal ini diuraikan dengan baiknya oleh Charles C. Fries dalam bukunya “Teaching & Learning English as a Foreign Language” Publication of the Modern Language Association, 78: 2- 25-28 (1963),11) banyak berbicara tentang sejarah perkembangan kedua corak Pengajaran Bahasa Inggris tersebut. Akhirnya dapatlah kita simpulkan bahwa bagaimanapun juga linguistik mempunyai andil yang sangat besar dalam perkembangan pengajaran bahasa dan malahan ada sementara sarjana yang berpendapat hanya pengajaran bahasa yang berdasarkan linguistiklah yang akan merupakan Pengajaran Bahasa yang valid di masa-masa yang akan datang.

Kemungkinan-kemungkinan Penerapan Linguistik ke dalam Pengajaran Bahasa Indonesia
Atas dasar teori penerapan linguistik ke dalam pengajaran bahasa dan dengan perbandingan pengajaran bahasa Inggris yang telah demikian jauh menerapkan linguistik ke dalamnya, seperti yang diuraikan di atas ini, maka bukanlah suatu hal yang tidak mungkin dikerjakan untuk menerapkan apakah saran-saran untuk menerapkan itu sudah adakah di Indonesia dan pada bahasa Indonesia?
Seperti telah diuraikan di atas, persyaratan pertama yang harus ada ialah deskripsi linguistik Bahasa Indonesia. Pertanyaan dalam hubungan ini: “Sudahkah bahasa Indonesia dideskripsikan secara linguistik?” Rupanya deskripsi linguistik tentang bahasa Indonesia ini, belumlah begitu besar jumlahnya dan juga belum tinggi mutunya, lebih-lebih lagi kalau kita bandingkan dengan deskripsi linguistik-linguistik yang telah ada dalam bahasa Inggris misalnya. Yang banyak kita dapati tentang bahasa Indonesia adalah terbitan-terbitan yang bernama tatabahasa/kaidah bahasa Indonesia yang ada sekarang ini di Indonesia dan tentang bahasa Indonesia, kebanyakan mempunyai sifat-sifat normatif preskriptif yang kebanyakan pula tidak sesuai lagi dengan pertumbuhan dan perkembangan Bahasa Indonesia yang sudah maju pesat.12)
Namun walaupun demikian, usaha-usaha permulaan untuk mendeskripsikan bahasa Indonesia secara linguistik yang dikerjakan oleh sementara linguis muda Indonesia, patut kita hargai dalam hubungan ini. Misalnya buku “Ilmu Bahasa Indonesia, Morfologi, Suatu Tujuan Bahasa Indonesia I dan II (Jakarta, 1967) karangan Drs. Lufti Abbas, M.A., “Struktur Bahasa Indonesia” (Malang, 1966) karya Drs. Umar Yumus dan karangan-karangan tersebar dari: Anton Muljono, Djojo Kenntjono, Samsuri dan Harimurti Kridalaksana, semuanya merupakan usaha-usaha untuk mengemukakan deskripsi linguistik terhadap Bahasa Indonesia. Terlepas dari sudah validnya karya-karya di atas ini, maka untuk Pengajaran Bahasa Indonesia di masa sekarang ini ada baiknya untuk sementara dipedomani kepada buku-buku ini, sambil menunggu kehadiran buku-buku yang lebih baik.
Syarat kedua yang kita perlukan bagi penerapan linguistik ke dalam Pengajaran Bahasa Indonesia adalah buku-buku pegangan sekolah yang berlandaskan linguistik. Rupanya buku-buku yang demikian inilah yang sedikit sekali adanya di Indonesia atau tidak ada sama sekali. Sehubungan dengan ini, adalah tantangan kepada linguis Indonesia dan terutama tantangan kepada sarjana-sarjana Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia IKIP untuk segera menghasilkan buku-buku pegangan yang demikian ini. Dikatakan demikian, karena sarjana-sarjana yang terakhir inilah yang di samping telah dibekali pengetahuan linguistik memiliki tentang Mengajarkan Bahasa (Language Teching) dan Belajar Bahasa (Language Learning).
Syarat ke tiga yang barangkali merupakan syarat terpenting dalam rangka penerapan linguistik ke dalam pengajaran bahasa Indonesia, adalah guru-guru Bahasa Indonesia yang mampu menerapkan atau mendasarkan pengajaran bahasa Indonesianya di sekolah-sekolah dengan linguistik. Tentunya guru-guru bahasa Indonesia yang telah mendapatkan pendidikan tinggi di IKIP yang mempunyai kans yang lebih banyak dalam hubungan ini. Hanya saja tenaga-tenaga guru bahasa Indonesia yang sekarang sudah banyak disumbangkan oleh IKIP kebanyakan masih muda usia (kurang berpengalaman) dan juga kurang “keberanian” memulai penerapan linguistik ke dalam pengajaran bahasa Indonesia. Dikatakan demikian karena sikap yang tidak simpatik dari guru-guru bahasa Indonesia angkatan tua dan sistem ujian lama yang masih berjalan rupanya tidak merupakan iklim yang baik untuk memulai penerapan linguistik ke dalam pengajaran bahasa Indonesia pada masa sekarang ini. Namun bisa kita pastikan dalam hubungan ini adalah pastinya linguistik akan diterapkan dalam Pengajaran Bahasa Indonesia dalam waktu 10 tahun mendatang, karena masa-masa itu dan masa-masa sesudahnya adalah Guru-guru Bahasa Indonesia yang dihasilkan oleh IKIP.
Di samping persyaratan teknis ilmiah seperti yang diuraikan di atas ini sudah tentu sangat diperlukan aspirasi partisipasi yang positif dari pemerintah Republik Indonesia c.q. Departemen P. dan K. dengan memberikan fasilitas serta biaya untuk melaksanakan ide penerangan linguistik ke dalam Pengajaran Bahasa Indonesia.
Tanpa kedua hal yang terakhir ini, sulitlah kita berbicara tentang kemajuan apalagi tentang peningkatan mutu Pengajaran Bahasa Indonesia yang sering disarankan oleh masyarakat, para ahli/pendidik dan oleh pemerintah. Demikianlah sebuah pandangan tentang hubungan linguistik dengan Pengajaran Bahasa Indonesia dan kemungkinan-kemungkinan penerapannya ke dalam Pengajaran Bahasa Indonesia. Mudah-mudahan dalam kesederhanaannya ini bisa dipahami oleh semua pihak dan lebih dari pada itu diharapkan uraian ini dapat merangsang pemikiran-pemikiran yang tentunya harus lebih serta mendetail. Jika hal itu bisa tercapai, tercapai pulalah maksud utama uraian ini.
Catatan:
1)Lihat: Mary R. Haas, The Application of Linguistics to Language Teaching, (termuat dalam: A.L. Kroeber, Anthropology Today, Chicago, 1958: 807).
2) Lihat: A.H. Gleason Jr. An Introduction to Descriptive Linguistics, 1961: 1-2.
3)op. cit. A.L. Kroeber, 1958: 807.
4)op. cit. A.L. Kroeber, 1958: 809.
5)op. cit. A.L. Kroeber, 1958: 813.
6)Lihat: Anthropological Linguistics, 1963: 1, 5, 50.
7)Ibid hal. 52.
8)Lihat: Harold B. Allen, Teaching English as a Second Language, 1965: 84-87.
9)Ibid. hal. 322-325.
10)op. cit. Anthropological Linguistics, 1963: 1, 5, 52.
11)op. cit. A.L. Kroeber, 1985: 811-814.
12)Lihat: Anton Muljono; Suatu Reorientasi dalam Tatabahasa Indonesia (termuat dalam Bahasa dan Kesusastraan Indonesia, sebagai Cermin Manusia Indonesia Baru, Jakarta, 1967: 45-69).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar